Walhi Riau: Jangan Sampai Kejahatan Lingkungan Terulang di Pilkada 2019-2024

Walhi-Riau.jpg
(Azhar Saputra)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau mengingatkan kepada masyarakat Riau bahwa perilaku menyimpang dari para kepala daerah disaat akan mengakhiri masa jabatannya patut diwaspadai.

Terutama disaat para kepala daerah tersebut kembali menduduki jabatan barunya sebagai pasangan petahana maupun di jabatan baru lainnya.

"Itu patut diduga, ketika mereka berada diujung masa jabatannya, hal itu sarat dengan penyalah gunaan kewenangan," kata staf Walhi Riau, Devi Indriani di Sekretariatnya, Rabu, 24 Januari 2018.

Wewenang yang disalah gunakan itu biasanya terkait perizinan kehutanan sebagai pintu masuk dari kerusakan gambut dan lingkungan yang ada di Riau.

"Lahirnya perizinan di ujung masa jabatannya juga sebenarnya menyalahi asas kepemerintahan seperti yang ada di UU nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi Pemerintahan," imbuhnya.

Selain itu, menurutnya juga kepala daerah yang akan menghabisi masa jabatannya dengan mengabulkan sebuah perizinan di sebuah lokasi dapat menutupi biaya politik yang begitu mahal di awal karir barunya.

Hal itu dibuktikan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala daerah terdahulu di salah satu Kabupaten terbesar di Riau, Inderagiri Hilir (Inhil).


"Inhil dapat dijadikan potrer bagaimana ketika kita lengah (ujung masa jabatan) maka keluarlah perizinan yang sampai saat ini masih tak terselesaikan,"tandasnya.

Khususnya di antara tahun 2012-2013. Dimana kala itu enam perizinan bermasalah, empat telah dilaporkan ke Polda Riau dengan total keseluruhan perizinan berjumlah 21.

"Empat itu diantaranya ialah PT Setia Agrindo Mandiri, PT Citra Palma Kencana, PT Setia Agrindo Lestari dan PT Indogrin Jaya Abadi,"tambahnya.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Direktur Walhi Riau Riko Kurniawan menuturkan bahwa keberadaan afiliasi dari PT First Resources yaitu PT Setia Agrindo Lestari (PT SAL) yang ada di Inhil juga cukup janggal. Itu karena sampai saat ini masih beraktifitas.

"Itu dibuktikan dari rekaman video yang dikirim oleh warga. Selain itu, korporasi ini juga tidak mengindahkan perintah Kabupaten di tahun 2014 untuk berhenti berkatifitas sementara,"ucapnya.

Belum lagi aktivitas mereka terbukti tumpang tindih dengan PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa serta peta indikatif penundaan izin baru.

"Kemudian mereka juga bekerja di area kedalaman gambut 3 meter yang nyata-nyatanya telah melanggar UU Gambut nomor 71 tahun 2016. Yang lebih anehnya mereka salah satu korporasi yang mendapatkan subsidi sebesar Rp 7.5 triliun dari Pemerintah," ucapnya kembali.

"Ke depan, jangan sampai ada lagi modus biaya politik mahal menjadikan masyarakat dan lingkungan sebagai tumbal. Kita juga tak ingin lagi Gubernur Riau hattrick kembali masuk ke lobang yang sama," tutupnya.(2)

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id