Pak Janggut, Saksi Sisa-sisa Kejayaan Pembuat Sampan di Tepi Sungai Siak

Pak-Janggut-dan-kapal-kayunya.jpg
(Azhar Saputra)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Di tengah gempuran modernisasi Kota Pekanbaru, tak banyak lagi, warga Kota Bertuah ini masih memiliki bakat sebagai pengrajin atau pembuat sampan dan kapal. 

Minimnya permintaan sampan serta sulitnya bahan baku, membuat mereka satu per satu meninggalkan pekerjaan ini, beralih ke mata pencaharian lebih menjanjikan.

Namun hal itu tidak berlaku bagi Erwan Ary. Laki-laki lebih akrab disapa Pak Janggut, saat berbincang-bincang dengan RIAUONLINE.CO.ID, ternyata masih menggantungkan hidup dari keterampilannya menyusun papan-papan kemudian disulapnya menjadi sebuah sampan ditambah mesin.

Alat angkut air saat ini tengah dikerjakannya, merupakan pesanan nelayan sudah 4 hari dikerjakannya. Menggunakan kayu meranti, sampan dibuatnya itu bisa mengangkut penumpang hingga 5 orang. Pak Janggut membandelrol karyanya itu dengan harga Rp 2 juta saja.

"Ini semuanya tergantung pesanan. Kalau mereka meminta lebih detail lagi, saya bisa. Jenis kayunya pun bebas, mau pilih yang mana. Tapi sekarang sudah tak bisa. Bahan bakunya sudah sangat susah. Bisa dikatakan sudah tidak ada," keluhnya di halaman docking kapalnya berada di tepian Sungai Siak, Jalan Nelayan, Rumbai, Pekanbaru.

Ia kemudian bernostalgia ke belakang, di era tahun 1970-an. Di tahun itu, masa-masa emasnya sebagai pembuat sampan yang mampu mengubah hidupnya.

Pak Janggut, kala itu, mampu meraih penghasilan hinga ratusan juta Rupiah. Dari penghasilan itu, satu dari enam anaknya berhasil ia sekolahkan hingga lulus seorang sarjana. Bahkan, satu anaknya lagi telah sukses menjadi abdi negara, anggota Korps Brimob Polda Riau.

Hingga saat ini, ia sudah tak mampu lagi mengingat sudah berapa banyak kapal dan sampan telah ia buat. Begitu menjanjikannya pekerjaan sampai saat ini masih terus ia tekuni.

"Bayangkan saja saat waktu jaya-jayanya itu. Setiap tahunnya itu bisa membuat paling banyak 10 kapal berbagai ukuran. Itu sekitar tahun 1970-an. Sekarang umur saya sudah 72 tahun. Hitung saja berapa kapal sudah jadi," katanya sambil tersenyum.

Pekerjaan ia geluti saat ini merupakan warisan dari ayahnya, saat itu. Masyarakat mengenalnya sebagai Buya Ahmad Rahimi. Ia merupakan pedagang cukup dikenal di zaman pendudukan Jepang. Saat itu, Pekanbaru masih disebut dengan nama Senapelan.

Selama berdagang, Buya ini dikenal akrab kepada semua orang, termasuk para tentara Dai Nippon. Barang dagangannya pun bermacam-macam. Dari mulai tembakau, ikan asin hingga sayur-mayur.


"Jadi, ayah saya itu seorang pedagang berjualan bermacam-macam. Kalau ke Sumatera Barat menuju ke sini (Pekanbaru), pasti membawa tembakau dan sayur-sayuran. Dari Sumbar ke Riau, ia selalu bawa ikan asin dan terasi. Bahkan jangkauannya bisa sampai ke Bengkalism bahkan Tanjung Pinang, ceritanya.

Pak Janggut

 

Semakin sering berdagang menggunakan kapal, semakin sering pula ia termakan waktu harus memperbaiki kapal kesayangannya. Sehingga, waktu berdagang habis selama dirinya harus dipaksa memperbaiki kapal.

Dari sanalah Buya ini berpikir untuk bisa menyambung hidup dengan cara memperbaiki bahkan menjual kapal. "Dari 11 bersaudara. Hanya saya yang bisa dan mau meneruskan pekerjaan turun-temurun ini. Selainnya, ada makan gaji (karyawan), ada jualan. Pokoknya macam-macam," tambahnya.

Tidak mau berpuas diri, ilmu perkapalan sudah diturunkan ayahnya saat itu, semakin diperdalamnya usai menamatkan pendidikan di sebuah sekolah menengah atas, Sumatera Barat, dengan konsentrasi ilmu pasti alam. Di sana, ia diajarkan geometri (ilmu ukur), ilmu alam dan pelajaran kimia.

Usai menamatkan Sekolah menengah tersebut, Pak Jenggot merantau ke Bagan Batu hingga Selat Panjang, hanya untuk menambah ilmu kebaharian. 

"Di sana, mana ada saya ditunjukkan cara buat kapal ini. Sambil kerja (serabutan di kapal) saya lihat-lihat mereka kerja. Sampai di rumah, malammya saya catat di buku apa-apa saja mereka kerjakan," jelasnya. 

Menakjubkan. Dari hasil catatannya itu, ia bisa membuat kapal dari gabungan mengamati, tanpa harus bertanya bagaimana mengerjakannya.

Keuntungannya, selama pembuatan kapal waktu termakan lebih sedikit dari mereka yang lebih dahulu darinya membuat kapal ataupun sampan.

"Jadi selama mencatat itu, saya menemukan, ada 3 cara dalam pembuatan kapal. Kalau tradisi Indonesia, awalnya menyusun papan kemudian baru disambung lunas (rangka). Cara orang India dan Australia lain lagi, mereka itu mendahulukan lunas baru dilanjutkan dengan dinding. Jadi saya dapat satu kesimpulan semuanya itu saya gabung. Hasilnya, saya lebih cepat dan lebih praktis," katanya bangga.

Sementara untuk jenis kayunya, laki-laki tua ini biasa menggunakan kayu berjenis resak dan meranti. Karena selain memiliki serat cukup bagus, kayu jenis ini banyak mengandung minyak damar. Sehingga kapal dibuatnya lebih tahan lama dan presisi.

Dasar ilmu kini telah dikuasainya itu menjadikannya tak hanya mampu membuat kapal berbahan kayu. Fiber hingga besi pun sanggup ia kuasai.

Selain itu, ia juga menerima bongkar pasang mesin diesel dan mesin berbahan bakar bensin sampai kini telah menginjak usia 72 tahun.

"Meskipun kini pekerjaan ini tak lagi seperti dulu. Tapi saya mencintainya. Pernah saya membuat kapal cepat (kapal boat bermesin tempel) dari fiber hasilnya juga sama. Saya tidak sombong. Kapal-kapal besar itu (berbahan besi) sama saja cara buatnya. Tapi mau diapakan. Rata-rata perekonomian orang seperti kami ini sudah mulai terdesak. Maunya sih, punya lahan 10 hektare yang ada air mengalir seperti ini (sambil menunjuk ke sungai Siak). Wah...itu bisa pensiun saya," tutupnya.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id