RIAU ONLINE - Topan dan badai menjadi bencana alam yang tak asing bagi penduduk Tokyo, Jepang. Pada 2011, Tokyo dihantam topan Roke yang membawa angin kencang berkecepatan 200 km/jam disertai curah hujan hingga 54 liter per meter persegi.
Peristiwa itu menyebabkan 520 ribu rumah kehilangan pasokan listrik dan butuh berhari-hari hingga air surut. Dan kemudian yang tersisa adalah kerusakan hingga miliaran dolar AS.
Kondisi geografis ibokota Jepang membuat Tokyo sejak lima dekade bersiap mengahadapi serbuan air. Salah satu kawasan yang menjadi langganan serbuan banjir adalah daerah padat penduduk di Prefektur Saitama yang berada di Cekungan Nakagawa, lebih rendah dari permukaan sungai Edo.
Baca Juga: Pangkalan Banjir, Jalan Lintas Sumbar-Riau Putus
Setiap tahunnya, curah hujan di Tokyo rata-rata mencapai ketinggian 1520 milimeter. Upaya melawan air dilakukan dengan membuat beton di 5 dari 15 sungai yang melewati jantung kota. Beton dibangun hingga ke dasar sungai. Sisanya, diatur dengan bendungan di bagian hulu. Infrastruktur anti banjir dibangun hingga memasuki masa keemasan pada 1960-an.
Dilansir dari DW.COM, senjata utama menghadang banjir terletak di 50 meter di dalam tanah, yakni Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel alias G-Cans, sebuah bangunan Kathedral raksasa. Hebatnya, bangunan yang ditopang 59 pilar beton itu, dilengkapi 78 pompa yang mampu memindahkan 200 ton air per detik, jumlah yang cukup untuk memenuhi kolam renang kelas Oliampiade.
Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel alias G-Cans, sebuah bangunan Kathedral raksasa (DW.COM/GETTY IMAGES/C.M c Grath)
G-Cans adalah sistem drainase terbesar di dunia. Pemerintah Tokyo membutuhkan 15 tahun untuk menuntaskan proyek masa depan ini. Konsepnya, sebenarnya sangat sederhana, air dari berbagai sudut kota akan dilairkan melalui sumur setebal 10 meter ke dalam lima kolam beton raksasa yang memiliki ketinggian 65 meter dan lebar 32 meter.
Klik Juga: Banjir Masuk Ke Dalam Masjid Pangkalan 50 Kota, Waduk PLTA Kotopanjang Siaga
Sistem tersebut juga tersambung dengan terowongan air selebar 10 meter dan dengan panjang 6,4 kilometer yang ditanam di bawah tanah. Berbagai ahli mendaulat G-Cans sebagai sebuah keajaiban teknologi. Tak heran jika proyek raksasa ini menelan biaya pembangunan hingga dua miliar Dollar AS atau sekitar 26 triliun Rupiah.
G-Cans telah difungsikan hingga 70 kali sejak rampung dibangun pada 2006. Pemerintah Tokyo mengatakan sistem kanalisasi banjir ini ampung mengurangi dua pertiga wilayah yang biasanya tergenang saat musim hujan. Namun begitu G-Cans hanya didesain untuk mengalirkan air hujan, bukan air laut seperti banjir rob.
Tidak hanya G-Cans, Tokyo juga membangun kanalisasi sungai bernama Furukawa Underground Regulating Resevoir. Kanal berbentuk lorong itu ditanam pada 15 meter di bawah sungai Furukawa dan dibangun memanjat sesuai aliran sungai. Menurut pemerintah Jepang, sistem kanalisasi banjir yang telah dibangun di Tokyo saat ini mampu menampung hingga 50mm air per jam.
Lihat Juga: Kumpulan Berita Banjir Pangkalan
Namun, kapasitas tersebut dinilai belum cukup. Sebuah proyek proyek pembangunan kanalisasi baru kembali dicanangkan hingga Tokyo nantinya mampu menghadapi curah hujan setinggi 75mm per jam. Proyek baru tersebut mencakup pelebaran kanal dan pendalaman sungai. Butuh waktu hingga 20 tahun hingga proyek ini tuntas.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline