RIAU ONLINE - Sejumlah negara memberikan tawaran menarik kepada Pemerintah Indonesia terkait performa pesawat, transfer teknologi, dan ofset yang menjadi syarat pembelian alutsista dari luar negeri. Tampaknya hal ini akan membuat kompetisi jet tempur dan pesawat angkut militer untuk TNI Angkatan Udara semakin ketat.
Selain pengganti pesawat tempur F-5 peluang masih terbuka dalam dekade ini mengingat dua skadron Hawk 100/200 di Pekanbaru dan Pontianak pada 2026 sudah harus punya pengganti karena pada 2026 Hawk 100/200 akan memasuki usia 30 tahun pengabdian di TNI AU. Sebab itu, mulai dari sekarang dalam sepuluh tahu mendatang TNI AU harus mengkaji jet tempur yang paling cocok untuk menggantikan Hawk 100/200.
Dilansir dari ANGKASA.CO.ID, menurut Wakil Asisten Perencana (Waasrena) KSAU, Marsma TNI Arif Mustofa, saat ini ada tiga pesawat yang tengah dikaji untuk menggantikan Hawk 100/200. Ketiganya adalah jet tempur mesin tunggal yakni Saab Gripen, Lockheed Martin F-16 Viper, dan KAI FA-50 Golden Eagle.
"Ketiga pesawat ini berpeluang, terutama Gripen dan Viper silakan bertarung," ujar Arif.
Sementara, Randall L. Howard, Pengembang Bisnis F-16 Lockheed Martin, dalam ajang Defence 2016 di Jakarta mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia tahun lalu menanyakan kemungkinan Indonesia membeli F-16V dan meminta penjelasan kepada Lockheed Martin terkait performa dan harga F-16 Viper.
Pada awal 2016 lalu, pemerintah AS sudah memberikan responns dan menyatakan bahwa Indonesia dapat membeli F-16V beserta segala persenjataannya.
"Ya, Pemerintah AS telah mengatakan bahwa Indonesia boleh membeli F-16V berikut segala persenjataannya," ungkap Howard.
Howard menjelaskan, F-16V merupakan produk F-16 termutakhir dengan teknologi terkini dari seluruh keluarga F-16 yang telah diproduksi sebanyak 4.500 unit dan 3.300 unit diantaranya saat ini tengah beroperasi di 24 negara dengan 27 operator.
“Viper dilengkapi beragam avionik canggih dan radar terbaru AESA. Lockheed Martin bukan pertama kali mengintegrasikan radar AESA, melainkan sudah punya pengalaman seperti pada F-22 Raptor, F-16 Block 60, dan F-35 Lightning II. Radar AESA yang digunakan Viper, punya komunalitas 85% dengan radar yang digunakan pada F-35,” ujar Randy panggilan Randall.
Radar ESA merupakan AN/APG-83 SABR (Scalable Agile Beam Radar) buatan Northrop Grmman yang sudah digunakan sejak 2008. Radar AESA ini merupakan turunan dari radar AESA AN/APG-77 (F-22), AN/APG-80 (F-16 Block 60), dan AN/APG-81 (F-35). SABR terpilih menjadi platform radar Viper karena kemampuannya yang terdepan dan biaya perawatannya yang paling efisien.
F-16V memiliki umur penggunaan yang panjang, yakni 12.000 jam terbang, meningkat dari umur rata-rata F-16 yang hanya memiliki 8.000 jam terbang.
Keuntungan lainnya jika Indonesia mengoperasikan Viper, kata Randy, F-16 memiliki ketersediaan dukungan yang sangat luas di seluruh dunia. Selain itu, Indonesia tidak perlu mengkhawatirkan suku cadang F-16. Demikian pula dengan syarat ofset atau transfer teknologi, sebab Lockheed Martin akan memberikannya kepada Indonesia.
“Perlu Anda ketahui, untuk ofset dan transfer teknologi, Lockheed Martin adalah yang terbesar melakukan hal itu dengan nilai mencapai 45 miliar dolar AS di seluruh dunia. Tidak ada perusahaan lain yang bisa menandingi,” tambah Howard.
Menurut Randy, F-16V adalah yang terunggul dibandingkan pesawat tempur mesin tunggal sekelasnya. F-16V terbang lebih cepat, membawa persenjataan lebih banyak dan radius tempurnya paling jauh.
Selain F-16 Viper, pihak Lockheed Martin juga menawarkan C-130J Super Hercules untuk pesawat angkut militer yang di Indonesia masuk kategori angkut berat. Pesawat ini adalah varian terbaru dari keluarga Putra Dewa yang telah menjadi legenda hidup hingga saat ini sejak diproduksi tahun 1954.
Richard Johnston, Wakil Presiden Internasional Pengembagnan Bisnis Mobilitas Udara dan Misi Maritim Lockheed Martin, menyebutkan, terdapat 2.500 unit C-130 Hercules yang telah diproduksi di dunia hingga saat ini. Kini, terdapat 60 negara yang menggunakan pesawat ini dengan pencapaian total 30 juta jam terbang.
C-130J milik USAF (ANGAKASA.CO.ID/USAF)
Lockheed Martin menawarkan C-130J kepada Indonesia sebagai penambah kekuatan armada C-130 B/H/HS/L-100-30 yang sejak 1960 (varian B dan KC-130B) mengabdi di TNI AU serta terbukti kehandalannya. “C-130J punya kemampuan multiperan, baik sebagai pesawat angkut militer, pesawat maritime, tanker, medevac, pemadaman api, dan sebagainya,” ujar Johnston.
Selain mesin baru, C-130J dibekali dengan propeler baru, dan bahan material baru yang mampu mengangkut hingga 20 ton kargo dengan tingkat efisiensi 47 persen lebih murah dari pengoperasian C-130 sebelumnya.
Hebatnya, kata Johnston, C-130J hanya butuh satu pilot, satu kopilot dan satu load master. Prinsipnya hanya itu karena pesawat telah dilengkapi beragam avionik digital (termasuk HUD) yang menunjang kerja pilot. Pesawat ini tidak membutuhkan lagi navigator dan flight engineer,” papar Johnston.
Keuntungan lain menggunakan C-130J bagi operator, kata Johnston, pesawat ini memiliki banyak kesinambungan. “Hanggar, fasilitas, dan alat kerja tidak perlu baru lagi. Demikian juga dengan operator dan teknisi, amat mudah menyesuaikan,” tekan Johsnton yang penerbang C-130 (termasuk C-130J) dengan akumulasi 4.000 jam terbang ini. Menurutnya, pelatihan di pesawat hanya butuh tiga hari dan satu minggu di simulator.
Saat ini, TNI AU memang baru tahap memulau pengkajian baik untuk pesawat Hawk 100/200 maupun kkebutuhan untuk pesawat angkut berat melengkapi sejumlah armada C-130.
F-16 dan C-130 memang punya sejarah paling panjang penggunaannya di TNI AU. F-16 telah digunakan sejak 1989 yang artinya telah 27 tahun dioperasikan TNI AU.
Apakah dengan demikian, kedua pesawat akan menjadi kuda hitam dalam kompetisi dan akhirnya dipilih oleh TNI AU sebagai rekomendasi kepada Kementerian Pertahanan? Belum bisa dikatakan demikian secepat itu.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline