Pemerintah Tak Bisa Serampangan Blokir Media Online, Harus Uji Pengadilan

RIAU ONLINE, PEKANBARU Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tidak bisa sembarangan saja melakukan pemblokiran 11 situs diduga mengandung konten Suku, Agama, dan Ras (SARA). 

 

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mempertanyakan tidak adanya mekanisme pengujian atas kebijakan tersebut. AJI menyerukan kepada semua pihak menghormati kaidah-kaidah pelaksanaan kebebasan berekspresi sebagaimana diatur Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta Konvenan Sipil dan Politik.

 

Sebelumnya, 3 November 2016, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo telah berkirim surat kepada sejumlah Internet Service Provider (ISP), meminta 11 situs tersebut diblokir sementara.

 

Permintaan pemblokiran itu dilakukan terkait dengan dugaan kesebelas laman internet itu telah menyebarluaskan konten mengandung unsur SARA. Kesebelas situs diblokir itu adalah, Lemahirengmedia.com, portalpiyungan.com, suara-islam.com, smstauhiid.com, beritaislam24h.com, bersatupos.com, pos-metro.com, jurnalmuslim.com, media-nkri.net, lontaranews.com, dan nusanews.com.

 

Baca Juga: HPN Hamburkan Uang Pajak, AJI Tawarkan Hari Kemerdekaan Pers Indonesia

 

Ketua AJI Indonesia, Suwarjono, menyatakan, AJI selalu memperjuangkan kebebasan pers dan mengawal kebebasan setiap warga negara untuk berekspresi. “Akan tetapi, pelaksanaan kebebasan berekspresi harus mengacu kepada prinsip-prinsip yang diatur DUHAM maupun Konvenan Sipil dan Politik,” kata Suwarjono.

 


Pasal 19 DUHAM menyatakan, tuturnya, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menyampaikan pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.

 

Sementara Pasal 19 Konvenan Sipil dan Politik menyatakan, Pelaksanaan hak-hak untuk berekspresi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, dan harus dibatasi demi memastikan penghormatan hak atau nama baik orang lain serta melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.

 

“Lebih jauh lagi, Pasal 20 Konvenan Sipil dan Politik menyatakan bahwa segala propaganda untuk perang harus dilarang oleh hukum. Pasal itu juga menyatakan segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum,” kata Pemimpin Redaksi Suara.com ini kepada RIAUONLINE.CO.ID, Kamis, 3 November 2016, dalam keterangan persnya. 

 

Klik Juga: Festival Media AJI Bertabur Workshop Kekinian Media Online dan Medsos

 

Suwarjono menyatakan, karena medium internet yang bersifat seketika dan tanpa batas-batas, misalnya batas geografi, maka pembatasan sebagai pelaksanaan aturan Konvenan Sipil dan Politik memang boleh diberlakukan seketika, misalnya dengan melakukan blokir terhadap situs-situs menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.

 

“Akan tetapi, harus ada mekanisme pengadilan untuk sesegera mungkin menguji, apakah penilaian pemerintah terkait sebuah situs menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan itu obyektif. Mekanisme uji oleh pengadilan penting, agar kewenangan negara untuk memastikan pelaksanaan kebebasan berekspresi mengikuti aturan Konvenan Sipil dan Politik tidak disalahgunakan untuk kepentingan penguasa,” kata Suwarjono.

 

Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Iman D Nugroho mengatakan, selama pemerintah dan aturan hukum tidak merumuskan mekanisme uji pengadilan, maka segala macam bentuk pemblokiran berpotensi melanggar kebebasan warga negara untuk berekspresi.

 

Lihat Juga: Catatan AJI: 2015 Media Cetak Berguguran

 

“Mekanisme pengujian pengadilan atas keputusan pemerintah meminta ISP memblokir akses 11 situs harus dilakukan secepat-cepatnya, untuk memastikan hak warga negara memperoleh informasi tidak dilanggar,” kata Iman.

 

AJI Indonesia juga menyerukan kepada semua pihak untuk menggunakan kebebasan berekspresi dengan sebaik-baiknya. “AJI Indonesia menolak segala macam anjuran kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Pelaksanaan kebebasan berekspresi yang melanggar prinsip Konvenan Sipil dan Politik harus diproses hukum,” tegas Iman D Nugroho.

 


Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline