Tak Berikan Rekam Medis Korban Brutal Polisi Meranti, KontraS: RSUD Meranti Berdusta

RIAU ONLINE - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindakan pihak RSUD Meranti dan Pemerintah Daerah Meranti yang berdusta.

 

Koordinator KontraS, Haris Azhar mengatakan saat ditemui pada Kamis, 29 September 2016, Direktur RSUD Meranti, Ruswiati menyatakan akan memberikan surat rekam medik almarhum Alfriadi dan Isrusli, dua korban brutalitas Polisi Meranti pada 25 Agustus 2016 lalu.

 

Pada 28-29 September 2016 lalu, lanjut Haris, tim KontraS mendatangi Kabupaten Meranti untuk menemukan fakta pelanggaran HAM serta memberikan dampingan kepada kelurga korban penyiksaan, Almarhum Alfriadi Pratama dan korban penembakan aparat Polres Meranti, Almarhum Isrusli.

 

KontraS bersama keluarga korban dan sejumlah warga Kepulauan Meranti meminta keterangan dari RSUD terkait kematian Almarhum Alfriadi dan Almarhum Isrusli.

 

Disaksikan oleh adik korban, awak media setempat dan Staf RSUD, Ruswita, berjanji akan memberikan dokumen rekam medis kepada keluarga korban 3 hari kemudian yakni pada Senin, 3 Oktober 2016.

Baca Juga: Inilah Kronologis Kerusuhan di Selat Panjang

 

Berdasarkan informasi keluarga korban dan masyarakat Kepulauan Meranti yang mendatangi RSUD Meranti pada hari yang disepakati, Haris menyesalkan, pihak RSUD Meranti didampingi Kabag Humas Pemda Kabupaten Kepulauan Meranti menolak memberikan rekam medis itu."Dengan alasan telah diberikan kepada aparat yang berwenang untuk kebutuhan penegakan hukum," kata Haris melalui siaran pers yang diterima RIAUONLINE.CO.ID, Jumat, 7 Oktober 2016.

 

KontraS mempertanyakan siapa atasan Direktur RSUD Meranti yang berwenang memberi perintah tersebut. Dalam logika hukum seharusnya, tegas Haris, kegiatan operasional Rumah Sakit berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan tidak ada struktur di atas Direktur Rumah Sakit karena ia adalah pimpinannya.

 

"Namun Ia menjawab, Atasan saya adalah Bupati, saya di SK-kan oleh Bupat”, ujarnya.


 

Menurut Haris, percakapan itu beberapa kali sempat terputus, tidak kurang dari lima kali kesempatan kami ulangi menghubungi kembali dan tiga kali kesempatan Direktur RSUD Meranti, hanya diam saat mengangkat telepon.

 

Haris menegaskan pihaknya telah menjelaskan kepada Direktur RSUD bahwa yang bertugas sebagai Pimpinan Operasional Rumah Sakit adalah Direktur RSUD bukan atas perintah Bupati, melainkan tunduk pada payung hukum peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Klik Juga: Asmara dan Cinta Segitiga Jadi Pemicu Kerusuhan Selat Panjang

 

Dimana dalam kedua Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa rekam medis merupakan hak pasien (keluarga) yaitu pada Pasal 52 huruf e, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi, Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak: mendapatkan isi rekam medis.

 

Menurut Haris, ketentuan tersebut ditegaskan kembali pada aturan yang lebih khusus tentang rekam medis yakni dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis pada Pasal 12 yang menjelaskan bahwa ringkasan rekam medis dapat diberikan, dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu.

 

"Setelah menjelaskan secara panjang lebar, sampai pada percakapan di kesempatan terakhir percakapan tersebut, Direktur RSUD Meranti berujar, 'Ayo Pak, silahkan sebutkan apa Pasal dan Undang-Undangnya biar saya catat dan laporkan ke atasan saya'," kata Haris.

 

Haris menegaskan bahwa pihak RSUD tidak perlu mencatat, sebab ia telah mengetahui hal tersebut. Namun, pihak RSUD menjawab “Saya tidak tahu”.

 

"Kami memprotes bagaimana bisa seorang Direktur RS tidak mengetahui payung hukum atas keberadaannya. Ia menjawab, 'Saya tahu', dan kami kembali menjawab, 'Kalau Ibu tahu akan aturan perundang-undangan dari keberadaan Ibu, maka seharusnya Ibu memberikan dokumen rekam medis tersebut kepada keluarga korban," ungkap Haris.

Lihat Juga: Ricuh di Halaman Mapolres, Seorang Warga Selatpanjang Tewas

 

Berdasarkan penolakan tersebut, kata Haris, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pihak RSUD Meranti menutup-nutupi kebenaran atas kematian Alm. Afriadi Pratama dan Alm. Isrusli, dengan alasan struktural dengan pemerintah

 

Padahal menurutnya, dalam hal ini pemerintah daerah bertugas hanya sebagai pembina dan pengawas rumah sakit (selengkapnya lihat Pasal Pasal 54 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit) tersebut dan tidak mempunyai kewenangan untuk memberi perintah sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur RSUD Meranti.

 

Haris menegaskan tindakan itu merupakan pengingkaran terhadap hukum dan tidak dibenarkan karena telah melanggar hak pasien dan dapat dituntut secara hukum sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 32 huruf q, Undang-Undang tentang Rumah Sakit.

 

Untuk itu, KontraS mendorong keluarga korban penyiksaan dan penembakan aparat Polres Meranti, Almarhum Afriadi Pratama dan Almarhum Isrusli, warga masyarakat Kepualauan Meranti sebagai pendamping dan pengawal proses untuk menuntut hak atas informasi, yaitu rekam medis korban.

 

"Dalam hal ini proses di atas juga patut untuk dikawal seluruh awak media untuk menanyakan pada Pihak RSUD Meranti dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti terkait upaya untuk menutup-nutupi kebenaran terkait kematian dua orang di atas akibat peristiwa meranti berdarah pada tanggal 25 Agustus 2016," kata Haris.

 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline