Soal SP3, Jikalahari Pertanyakan Kinerja 100 Kapolda Riau Supriyanto

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Penghentian kasus pembakaran hutan dan lahan oleh Polda Riau terhadap 15 perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI serta perkebunan kelapa sawit, dianggap Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) sebagai perbuatan melanggar perintah Presiden Joko Widodo, Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti serta penggantinya, Jenderal Pol Titi Karnavian. 

 

Selama 100 hari menjabat sebagai Kapolda Riau, sejak 21 Maret 2016, Brigjen Pol Supriyanto, hingga kini belum juga mencabut Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Padahal, tutur Koordinator Jikalahari, Woro Supartinah, Kapolri Badrodin Haiti, waktu itu, menginstruksikan menuntaskan kasus karhutla, illegal ogging dan penyelundupan barang illegal yang masuk ke Riau.

 

“Mengapa hingga 100 hari kinerja Kapolda Supriyanto, belum juga mencabut penghentian perkara 15 korporasi diduga pembakar hutan dan lahan dan Riau tahun 2015?” kata Woro Supartinah, kepada RIAUONLINE.CO.ID, dalam rilisnya, Senin, 8 Agustus 2016. 

 

Dalam menetapkan SP3 terhadap kebakaran di dalam areal 15 perusahaan pada 2015 silam, Polda Riau beralasan lahan tersebut sedang berkonflik dengan masyarakat sekitar. Analogi ini ternyata pernah juga ditetapkana pada kasus PT Adei. 

 

 

Baca Juga: Nilai SP3 Polda Riau Janggal, IPW: Perintah Jokowi Dilanggar Kapolda Riau

 

Woro juga mempertanyakan kenapa saat menangani kasus kebakaran lahan di dalam areal perusahaan Malaysia, PT Adei Plantation adn Industry, kebakaran terjadi di areal diokupasi serta berkonflik dengan warga. 

 

Padamkan Api Gambut

 

“Namun, karena areal 40 ha yang terbakar masuk dalam areal PT Adei Plantation, ini berdasarkan AMDAL, Polda berani menetapkan korporasi dan General Manager sebagai tersangka hingga divonis bersalah oleh majelis hakim,” kata Woro. 

 

Ia juga menjelaskan, saat dibawa ke persidangan, perusahaan dan GM PT Adei Plantation divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Pelalawan dan Pengadilan Tinggi Perkanbaru. Kini kasusnya sedang berproses di tingkat kasasi.

 


“Waktu itu Polda Riau tidak peduli berkonflik atau tidak, yang penting ada kebakaran di dalam konsesi perusahaan dan itu memenuhi unsur tindak pidana lingkungan hidup,” kritik Woro mengenai alasan SP3 Polda Riau yang tidak konsisten. 

 

Sebelumnya, Direktur Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Riau, Kombes Pol Rivai Sinambela, merespon rilis Jikalahari, 20 Juli 2016, menyebut justru 15 perusahaan telah dihentikan kasusnya. Alasan penghentian, sesuai prosedur setelah melakukan beberapa kali melakukan gelar perkara termasuk rekomendasi ahli.

 

Klik Juga: Inilah 11 Perusahaan Pembakar Lahan yang Mendapat SP3 dari Polda Riau

 

Alasan lainnya, lahan perusahaan diokupasi masyarakat alias bersengketa, perusahaan izinnya ada dicabut KLHK, dan ada perusahaan tidak lagi beroperasi.

 

Kebakaran Lahan dan Hutan

 

Woro juga menjelaskan, alasan Polda lakukan SP3 seperti api berasal dari lahan perusahaan diduduki masyarakat, lalu perusahaan sudah berusaha memadamkan api, dan memenuhi standar sarana dan prasarana pencegahan dan penanganan karhutla.

 

"Ketika itu, saat merespon konferensi pers yang kami lakukan, seharis sebelumnya, 19 Juli 2016, Kombes Sinambela menyarankan Jikalahari melakukan Pra Peradilan," kata Woro. 

 

Namun, tutur perempuan berjilbab ini, rilis Polda Riau itu masih belum jelas dan tidak terang benderang. Pertama, siapa ahli merekomendasikan penghentian perkara tersebut?

 

Alasan berikutnya, tahun 2013 saat menangani perkara karhutla seluas 40 di dalam areal PT Adei Plantation and Industry, lahan seluas 40 ha itu juga diokupasi warga dan berkonflik.

 

Ketiga, perusahaan yang sudah memenuhi sarana dan prasarana termasuk cepat memadamkan api saat karhutla terjadi di dalam lahan berkonflik atau diokupasi warga, tidak menghilangkan unsur kesengajaan dan kelalaian.

 

Lihat Juga: Jikalahari Desak Presiden Evaluasi Kinerja Kapolda Riau

 

“Karena, mengapa perusahaan membiarkan lahannya diokupasi oleh warga? Bukankah dalam dokumen izin perusahaan disebutkan perusahaan wajib menjaga konsesinya dari kebakaran, okupasi atau perambahan? Itu berarti perusahaan membiarkan lahannya diokupasi atau sedang berkonflik," tuding Woro.

 

Woro menyimpulkan, alasan Polda Riau menerbitkan penghentian perkara alias SP3 tidak beralasan secara hukum dan penuh motif kepentingan perusahaan HTI dan Sawit. 

 

Selain itu, SP3 melanggar prinsip-prinsip transparansi Peraturan Kapolri (Perkap) No 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Transparansi bermakna proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan secara terbuka dapat diketahui perkembangan penanganannya oleh masyarakat.

 

“Masyarakat sama sekali tidak tahu penghentian perkara ini, apalagi SP3 ini sudah dimulai sejak Januari 2016,” kata Woro.

 

Woro juga mengatakan, SP3 juga melanggar instruksi Presiden (Inpres) No 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015.

 

Jikalahari juga menilai, tingkat kesulitan penyidikan perkara ini termasuk mudah. “Buktinya korporasi tahun 2013-2014 yaitu PT Adei Plantaion and Industry PT National Sago Prima dapat dengan mudah dijadikan tersangka oleh Polda Riau,” pungkasnya. 

 


Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline