MASJID Ar-Rahman, Jalan Jenderal Sudirman, di bawah Jembatan Layang Sudirman-Tuanku Tambusai, Pekanbaru.
(INTERNET)
Laporan: Azhar Saputra
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Banyak warga Pekanbaru dan Riau yang tak tahu jika Masjid Ar Rahman yang berdiri megah di Jalan Jenderal Sudirman, di bawah Fly over (jembatan layang) Sudirman-Tuanku Tambusai, ternyata dibangun sejak zaman Kolonial Belanda.
Dahulunya, bangunan Masjid ini terbuat dari kayu berbentuk panggung dengan tinggi sekitar satu meter dari tanah berukuran 8x8 meter dibangun di atas tanah wakaf oleh warga Kota Pekanbaru zaman dulu secara gotong-royong dan dibiayai oleh Raden Sastro Pawiro Djaya Diningrat.
Raden Sastro Pawiro Djaya Diningrat merupakan lurah, sekarang seperti Kepala Desa, di Pekanbaru. Ia memerintah tiga zaman, Kolonial Belanda, Jepang dan Indonesia Merdeka.
Baca Juga: Inilah Tokoh Penggagas Berdirinya Masjid Agung An-Nur Pekanbaru
Pembangunan masjid ketika itu, kata Kepala Tata Usaha Masjid Ar-Rahman, H Hasyim, dilakukan mulai tahun 1930-1935. Akhirnya pada tahun 1935, masjid yang dibangun secara bersama-sama itu rampung.
"Bangunan ini dulunya didirikan pada tahun 1930 dan selesai lima tahun kemudian, 1935. Mesjid yang letaknya persis berada di pusat kota Pekanbaru ini dulunya merupakan rumah ibadah sangat sederhana. Tanahnya diawal pengerjaan merupakan wakaf dari Raden Pawiro Djaya Diningrat," kata H Hasyim kepada RIAUONLINE.CO.ID, Selasa, 7 Juni 2016.
Raden Pawiro, tuturya, merupakan keturunan bangsawan Jawa. Selain mewakafkan tanahnya, Rades Sastro Pawiro juga ikut andil dalam pembangunan bersama masyarakat.
"Pembangunan mesjid ini dilakukan secara swadaya masyarakat. Namun Raden Sastro adalah donatur terbesar mesjid ini," jelasnya.
Ketika itu, dinding, lantai, serta tiang masjid, terbuat dari papan biasa beratapkan daun. Masjid Ar-Rahman dicat menggunakan oli bekas, sehingga warna masjid sedikit hitam kecoklatan bergabung dengan warna papan.
Klik Juga: Inilah Rahasia di Balik Kemegahan Masjid Agung An-Nur
Dari bangunan panggung berukuran 8x8 meter, perlahan-lahan seiring bertambahnya penduduk di Pekanbaru, bangunan masjid tak mampu lagi menampung jemaah.
Masjid Ar-Rahman kala itu, kata H Hasyim, karena satu-satunya masjid di Kota Pekanbaru, maka jemaahnya berasal dari warga sekitar Jalan Sumatera, Cempedak, Pinang, Pepaya, Cut Nyak Dien, hingga A Yani.
Maka pada tahun 1960, cerita H Hasyim, masyarakat kembali melakukan renovasi dengan menghilangkan bagian panggungnya. Tahun tersebut merupakan tahun terakhir dilakukannya renovasi, sebelum akhirnya Wali Kota Pekanbaru, Herman Abdullah, membebaskan lahan di sekitar Masjid Ar-Rahman.
"Sekitar 2004, saat itu Pemerintah Kota membebaskan lahan di sekitar Masjid Ar-Rahman untuk diperluas dan merenovasi mesjid dengan luas bangunan dan tanah mencapai 4.700 m2," kata H Hasyim.
Lihat Juga: Mesjid Agung An-Nur Pekanbaru dan Makna di Balik Lima Kubahnya
Untuk dananya, kata Hasyim, dari APBD Provinsi dan Kota Pekanbaru. Selesai pembangunan Masjid Ar-Rahman pada 19 juli 2009 dan diresmikan Gubernur Riau, Rusli Zainal. Sejak itu seluruh kegiatan dan acara keagamaan Kota Pekanbaru selalu dipusatkan di mesjid ini, bukan di Masjid Raya, Senapelan, masjid peninggalan Kerajaan Siak Sri Indrapura.
"Makam Raden Sastro untuk saat ini berada di area kompleks mesjid, tepat di belakang bangunan Masjid Ar-Rahman. Raden Sastro juga dikenal dengan nama Pak Nyamuk," tandasnya.
Simak dan Ikuti sejarah mesjid-mesjid di Pekanbaru dengan klik di sini.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline