RIAU ONLINE - Pemerintah Kerajaan Arab Saudi selama ini dikenal sebagai konco erat, sahabat Amerika Serikat, kini melampiaskan emosinya kepada Presiden Amerika Serikat.
Pasalnya, Arab Saudi merasa ditinggalkan saat terjepit dalam krisis ekonomi dan keamanan di kawasan Timur Tengah. Kondisi merenggang antara Obama dengan Arab Saudi sudah terjadi dua tahun terakhir.
Bukti Amerika Serikat bukan lagi sahabat erat bagi Arab Saudi, saat Barack Obama melakukan kunjungan kerja, pekan lalu, ke jazirah Arab. Biasanya tamu negara dari Paman Sam mendapat kehormatan disambut keluarga kerajaan, entah itu raja sendiri atau pangerannya.
Baca Juga: Obama: ISIS Tidak Bisa Dikalahkan Dalam Sisa Jabatan Saya
Namun, ketika Obama tiba di Bandara Internasional King Khalid menghadiri Konferensi Negara Teluk, justru menjemputnya Gubernur Riyadh dan Menteri Luar Negeri, Adel Al-Jubair.
Padahal, beberapa jam sebelumnya, Raja Arab Saudi, Raja Salman, ikut menjemput tamu undangan kepala pemerintahan serta negara Timur Tengah di Bandara. Walau, kehadiran kedua pejabat tersebut cukup untuk memenuhi kriteria protokoler kunjungan seorang kepala negara.
Dalam kunjungan terakhirnya di Arab Saudi, Obama menghadapi sejumlah isu membebani hubungan kedua negara, terutama masalah kesepakatan nuklir Iran, perang saudara di Yaman dan Suriah.
Baru-baru ini, Arab Saudi mengancam bakal menjual asetnya di AS senilai 750 miliar Dolar jika parlemen AS menyetujui undang-undang baru mengizinkan keluarga korban serangan teror 11 September menggugat pemerintah negara asing diduga membantu atau membiarkan serangan tersebut. Negara dimaksud adalah Arab Saudi.
Obama bertamu ke Riyadh guna membahas perang melawan kelompok teror Islamic State di Suriah (ISIS). Namun agendanya itu direcoki perselisihan kedua negara. BBC melaporkan dalam pertemuan di Istana Erga, kedua kepala pemerintah masih berselisih ihwal isu-isu krusial.
Pemerintah Arab Saudi berhak merasa resah. Pasalnya perkonomian negeri para Emir itu sedang terbebani rendahnya harga minyak. Untuk pertamakalinya sejak 1991, Arab Saudi harus meminjam uang dari bank. Terlebih negeri itu sedang terjepit isu keamanan di jiran Yaman, Iran dan Suriah.
Klik Juga: Dua Putrinya Ingin Jumpa Messi, Obama Mengaku Tak Berdaya
Justru saat Arab Saudi butuh kehadiran sahabat, malah AMerika Serikat meninggalkan negera teluk itu. Riyadh merasa Washington membiarkan sekutunya sendirian.
"Karena Anda memanjakan Iran sedemikian rupa, Anda melupakan nilai persahabatan dengan kerajaan telah berusia 80 tahun," tutur Bekas Kepala Intelijen Arab Saudi, Turki Al-Faisal, kepada CNN.
Ucapan Turki bukan tanpa latar belakang. Dalam wawancara dengan mingguan The Atlantic Maret silam, Obama mengritik sekutu AS di Timur Tengah yang "bersikeras menyeret AS dalam konflik sektarian terkadang tidak ada hubungannya dengan kepentingan kami." Lagi-lagi yang ia maksud adalah Arab Saudi.
Maka Riyadh melakukan apa yang biasa dilakukan sebuah negara sekutu sedang bersitegang dengan penguasa di Washington, menunggu pemilu kepresidenan.
Klik Juga: Kemana Obama Setelah Tak Presiden Lagi?
"Obama tidak lagi berguna atau relevan untuk negara-negara Teluk," tulis harian Saudi, Al-Hayat. Hal senada ditulis Al-Arab al-Alamiyah, bahwa isu-isu utama antara kedua negara "akan diwariskan ke pemerintahan AS selanjutnya."
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline