Mabes Polri Tak Akui Autopsi Komnas HAM dan PP Muhammadiyah

PP-Muhammadiyah-Terima.jpg
(VOAINDONESIA.COM)

RIAU ONLINE - Hasil autopsi yang dilakukan Komnas HAM dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah terhadap jenazah Siyono, ditolak mentah-mentah oleh Mabes Polri. 

 

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Agus Rianto mengatakan, polisi tetap berpegang teguh pada hasil autopsi yang dilakukan polisi, bukan Komnas HAM dan PP Muhammadiyah. 

 

"Itu hak mereka untuk menyampaikan. Menurut hasil yang pernah disampaikan Kapusdokkes, itu ada benturan di kepala, kemudian juga ada tanda-tanda kekerasan dilakukan kedua belah pihak," kata Agus, Senin, 11 April 2016. "Dalam artian, mereka berkelahi di dalam kendaraan, seperti itu," tambah Agus.

 

Baca Juga: Hasil Forensik, Polisi Bohong, tak Ada Tanda-tanda Perlawanan dari Siyono

 

Persatuan Dokter Forensik Indonesia, Komnas HAM dan PP Muhammadiyah dalam konferensi pers, Senin kemarin, menyatakan, pada tubuh jenazah Siyono menunjukkan korban meninggal karena patah tulang di bagian dada mengarah ke jaringan jantung.

 

Ekspose Hasil Autopsi Siyono

KETUA tim dokter forensik yang melakukan otopsi Siyono, Gatot Suharto (kiri), Busyro Muqoddas dari Muhammadiyah, dan Komisioner Komnas HAM Siane Indriani serta Hafid Abbas, Senin, 11 April 2016.

 

Hasil autopsi tersebut juga tak menunjukkan ada tanda-tanda perlawanan atau tangkisan dari Siyono. Tim forensik diketuai Gatot Suharto juga menemukan luka ketokan di kepala.

 

Akan tetapi itu tidak menyebabkan perdarahan atau kematian, sementara menurut polisi perdarahan di kepala itulah menjadi penyebab kematian.

 

Komisioner Komnas HAM, Siane Indriani menjelaskan, hasil autopsi terhadap jenazah Siyono memperlihatkan jenazah mengalami patah di lima iga bagian kiri, patah satu iga bagian kanan, dan tulang dada yang patah akibat benda tumpul di rongga dada mengarah ke jaringan jantung.


 

"Titik kematian ada di situ," kata Siane kepada para wartawan.

 

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik, Busyro Muqoddas menjelaskan, autopsi Siyono adalah bentuk "kontrol publik" terhadap kinerja Densus 88 dalam penanganan masalah terorisme.

 

Busyro menjelaskan, sudah lama tidak ada indikasi turunnya frekuensi, kualitas, atau volume, terhadap tindakan terorisme dan tidak pernah terungkap dengan lebih transparan karena (terduga) langsung meninggal dunia. Menurutnya upaya melakukan autopsi dan membukanya kepada publik merupakan bentuk kontrol terhadap Densus 88.

 

Klik Juga: Begini Aksi Salah Tangkap Densus 88

 

Terhadap kritik ini, Agus mengatakan bahwa polisi, terutama Densus 88, sudah punya data terhadap setiap terduga teroris ditangkap atau kemudian tewas dalam penangkapan.

 

Ketika ditanya bagaimana pertanggungjawaban Densus 88 jika terjadi salah tangkap terhadap mereka terduga teroris, Agus mengatakan, terduga terkait jaringan terduga teroris, itu sudah melalui proses penyelidikan yang mendalam, jadi tidak serta-merta (ditangkap). Tapi belum pernah teman-teman Densus (88) melakukan hal itu (salah tangkap).

 

Warga Minat Densus 88 Dibubarkan

LASKAR Islam di Solo melakukan aksi demo terkait tewasnya terduga teroris oleh Densus Anti Teror, Jumat, 18 Maret 2016.

 

"Polisi sempat melakukan penangkapan terhadap kelompok Siyono pada 2014 dan mereka tetap yakin terduga teroris itu menjabat posisi pemimpin kelompok teroris," jelasnya. 

 

Agus mengatakan, polisi sempat menangkap Siyono awal 2016 di Sulawesi Selatan, namun saat itu masih melakukan pendalaman bukti. 

 

Dalam konferensi pers di Komnas HAM, Koordinator KontraS, Haris Azhar, meminta agar polisi lebih mengutamakan pendekatan hukum.

 

Namun, Agus menolak kritik menyatakan Densus 88 sudah bertindak sewenang-wenang dalam penangkapan para terduga terorisme selama ini. "Mereka harus bisa membuktikan kalau (Densus 88) sewenang-wenang, kalau terjadi permasalahan kontak tembak, itu karena mereka (terduga teroris) tidak mau menyerah secara baik-baik," katanya.

 

Ia menjelaskan tahapan penangkapan seseorang itu sudah ada aturannya. "Tahapan itu tetap kita lalui. Berapa yang meninggal, berapa kita proses? Memang ada meninggal, karena tidak mau menyerah. Bagaimana mau diproses kalau orangnya meninggal? Kita maunya hidup, kalau tidak hidup itu rugi sebetulnya, proses penegakan hukum rugi karena kita tidak mampu mengungkap jaringan," ujar Agus.

 

Lihat Juga: Seorang Terduga Teroris di Pulau Jawa Warga Pekanbaru

 

Saat ditanya mengenai uang Rp 100 juta yang diberikan polisi terhadap istri dan saudara laki-laki mendiang Siyono, Agus mengatakan bahwa itu adalah "uang duka".

 

"Dalam arti untuk membantu proses pemakaman dan hal-hal lain dibutuhkan pihak keluarga, tidak ada maksud-maksud lain," ujarnya.

 


Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline