TULISAN jurnalis Harian Kompas, Bre Redana, pada Minggu, 27 Desember 2015, menjadi viral di Internet hanya beberapa jam setelah terbit. Foto cuplikan tulisan itu melesat seperti bom klaster, serpihannya menerjang sanubari setiap jurnalis yang membacanya, termasuk saya. Judulnya, “Inilah Senjakala Kami...”. Isinya tentang kegundahan seorang jurnalis melihat fenomena menurunnya peran media cetak. Ironi karena menyebar di ranah digital yang meresahkan Bre.
Ada berbagai dimensi dari tulisan Bre. Namun saya ingin fokus menyoroti dua dimensi dari tulisan Bre. Pertama, Bre bicara tentang platform atau teknologi media, seperti cetak, televisi, atau digital. Kedua, Bre bicara soal gaya atau perilaku jurnalis; antara jurnalis “konvensional” dan bukan.
Bicara soal platform, ketika televisi muncul, ada yang meramalkan radio akan berakhir, namun kenyataannya keduanya sama-sama eksis sampai hari ini. Pendekatan yang sama juga digunakan ketika media digital muncul, maka kemungkinan koran yang berbentuk cetak akan tetap bertahan. Pendapat ini tetap bertahan meski dari tahun ke tahun, media cetak berguguran satu demi satu.
Saat ini, di perkotaan, orang hidup di tengah-tengah pluralisme media. Bangun tidur, mereka meraup telepon pintarnya, membaca pesan masuk dan melihat notifikasi berita dari aplikasi media berita digital. Sambil sarapan, mereka membaca koran atau majalah, kadang sambil menyalakan televisi.
Berangkat dari rumah, menuju tempat bekerja, mereka menyalakan radio, kadang sambil membuka telepon pintar untuk mengakses jejaring sosial yang sebagian besar juga menyodorkan tautan berita media digital untuk dibaca.
Di tempat kerja, akses informasi diterima melalui perangkat komputer pribadi atau telepon pintar. Di perjalanan pulang ke rumah, kembali mengakses radio atau telepon pintar.
Saat malam di rumah, barulah televisi mendapat prime time-nya, namun, riset tahun 2011 yang dilakukan Nielsen Company menemukan dua pertiga pengguna telepon pintar menonton televisi sambil memegang gadget-nya.
Terlihat gadget hampir tak pernah terlepas dari tangan manusia modern. Fakta ini dikonfirmasi sebuah survei di Amerika Serikat dilakukan Mitek System (Juni 2014), menyatakan 87 persen responden menyatakan selalu menjaga telepon pintar tetap di sampingnya sepanjang hari.
Kerap terjadi fenomena dua atau tiga layar sekaligus, sambil menonton televisi, orang membuka media digital melalui telepon pintar. Memang riset lain menemukan, pengguna Internet lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar mobile phone daripada layar televisi.
Tidak aneh jika pemasang iklan mulai beralih dari media cetak ke media menurut Bre Redana “lebih gemebyar”. Lebih spesifik, media itu disebut Bre adalah televisi, di tanah air masih analog, belum digital, karena terkendala peraturan perundang-undangan.
Memang, jika bicara konteks penerima iklan, penikmat dana iklan terbesar masih televisi, kemudian disusul media cetak, dan baru tempat ketiga diisi media online atau digital.
Namun, jika bicara total pengeluaran biaya iklan, media digital sudah menduduki posisi kedua setelah televisi. Saat ini dana iklan digital ini disedot oleh pemain-pemain digital global seperti Google dan Facebook.
Google kemudian berbagi penghasilan dengan para penyedia jasa konten termasuk media digital di Indonesia seperti dalam format AdSense. Dan kecenderungannya, porsi dana iklan untuk digital ini semakin tahun semakin membesar, mengurangi porsi untuk televisi.
Apa yang membuat pemasang iklan beralih ke digital? Potensi penggunanya. Per akhir 2014, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan sudah lebih dari 80 juta pengguna Internet di Indonesia. Internet sudah menjangkau sepertiga populasi Indonesia.
Jadi, menjawab Bre, yang senja kala sebenarnya adalah iklan di media cetak, sementara Jurnalisme justru sedang menemukan inang barunya yang lebih dahsyat, digital.
Liputan 360 Derajat
Lalu apa membuat pembaca memilih media berita digital daripada yang lain? Tentu kita akan bicara mengenai sifatnya. Teknologi digital hari ini sudah mengatasi semua kelebihan yang ada di media-media konvensional; kandung teks, suara, video, foto. Dia konvergen.
Teknologi digital atasi kelemahan media cetak yakni ruang yang terbatas; sebuah batasan yang kemudian mengenalkan sebuah teknik penyuntingan yang disebut sebagai piramida terbalik. Anda bisa menulis sepanjang apapun di media digital.
Teknologi digital juga tak ada masalah dengan rentang waktu, sebuah batasan klasik bagi radio dan televisi yang bekerja dalam rentang waktu 24 jam sehari. Jika sebuah program berdurasi setengah jam, maka maksimum hanya akan ada 48 program di radio atau televisi.
Meski media digital sudah muncul di Indonesia sejak tahun 1996, di mana Harian Kompas merupakan salah satu pionirnya, baru beberapa tahun belakangan ini teknologi media online begitu berkembang.
Belakangan, muncul tren liputan 360 derajat yakni sebuah liputan menyajikan seluruh fakta, opini, atau pun data dalam berbagai bentuknya (teks, foto, suara, video dan grafis), serta interaktif dalam sebuah jendela akses.
Kompas.com misalnya, pernah menurunkan laporan macam ini dengan tajuk “Berebut Roh Soekarno” diturunkan menyambut Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-70.
The Guardian, sebuah media berbasis di Inggris, yang sejak beberapa tahun belakangan mencanangkan “Digital First” melalui theguardian.co.uk, melakukan liputan macam ini untuk membongkar penyadapan massal yang dilakukan badan pemerintah Amerika Serikat, National Security Agency (NSA), terhadap Internet dunia.
Liputan bertajuk “NSA Files” berisi serangkaian laporan tentang NSA, salinan dokumen, rekaman suara, video, debat, kisah, dan komentar publik, secara sistematis dan kronologis.
Liputan yang dipantik oleh jurnalis Glenn Greenwald ini akhirnya dianugerahi Pulitzer Prize 2014 untuk kategori public service reporting. Jelas dalam hal NSA, kewibawaan intelektual Greenwald akan melebihi doktor manapun di dunia, menjawab kegelisahan Bre soal jurnalis yang tak lagi berkelas doktor.
Theguardian.co.uk bukan media online pertama mendapat Pulitzer. Tahun 2010, ProPublica menjadi media online pertama mendapat Pulitzer, saat itu untuk kategori Pelaporan Investigatif.
Niemanlab.org melaporkan, tahun yang sama, seorang kartunis memajang karyanya di SFgate.com juga mendapat Pulitzer. Tahun 2011, ProPublica kembali dapat Pulitzer. Tahun 2012, giliran dua media online ternama, Huffingtonpost.com dan Politico, juga mendapat Pulitzer.
Total, lima dari 13 Pulitzer tahun 2012, didapatkan media online. Tren ini menunjukkan, kualitas media digital sudah melambung tinggi.
Bagaimana dengan Indonesia? Tak usah jauh-jauh. Tahun 2012, Kompas mendapat penghargaan dari Asosiasi Surat Kabar dan Penerbitan Berita Dunia (WAN-IFRA) untuk liputan Ekspedisi Cincin Api.
Penghargaan emas untuk kategori cross media dan perak untuk publikasi di perangkat tablet. Penghargaan skala global ini jelas ditujukan untuk pendekatan multiplatform dilakukan Harian Kompas bersama-sama dengan Kompas.com dan KompasTV.
Bahkan tahun 2013, WAN-IFRA kembali memberi penghargaan untuk Kompas bersama sejumlah perusahaan media terkemuka Asia di bidang “media online, video online, infografis, cross media...”. Lagi-lagi digital.
Kolaborasi di Ruang Redaksi
Apa yang telah dilakukan Kompas dalam Ekspedisi Cincin Api? Menurut pendapat saya, dimulai dari hal sederhana. Kompas (termasuk Kompas.com dan KompasTV) menghimpun kerja-kerja kolektif awak redaksi, jurnalis bekerja dalam satu tim bersama orang teknis, orang grafis, peneliti, akademisi, warga, dan lain-lain untuk menghasilkan karya jurnalistik bermutu.
Peliputan di era digital bukan lagi sekadar era di mana jurnalis mengandalkan isi kepala sendiri, mengejar sendiri narasumber-narasumber agar terpenuhi prinsip jurnalistik seperti keberimbangan, lalu menuliskan sendiri untuk ditayangkan.
Peliputan di era digital adalah himpunan kerja beberapa orang termasuk jurnalis, dengan berbagai spesialisasinya. Para jurnalis saling melengkapi fakta temuan masing-masing sehingga semua unsur berita dan standar jurnalisme terpenuhi.
Jurnalis mungkin tidak bertanya langsung saat wawancara keroyokan terjadi karena mengingat keriuhan dan eksklusivitas, namun pertanyaan lebih intim ke narasumber diajukan jurnalis melalui aplikasi pengirim pesan, surat elektronik atau bahkan sambungan telepon.
Kisah mengenai kunjungan Presiden Joko Widodo ke Papua misalnya, di sebuah media digital bisa saja merupakan sebuah kolaborasi beberapa jurnalis, tim grafis dan peneliti.
Satu jurnalis melaporkan melalui teks kunjungan tersebut, kemudian jurnalis foto mengirim foto, sementara jurnalis video mengirim gambar bergerak. Kepala peliputan meminta jurnalis yang meliput di Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia untuk mengirimkan laporan terbaru mengenai kondisi hak asasi manusia di Papua.
Redaktur meminta tim grafis untuk membuat infografis soal Papua. Redaktur menjahit berita dengan menambahkan tautan berita kunjungan Presiden Joko Widodo sebelumnya ke Papua. Semua fakta dan data itu dalam satu jendela akses, dikendalikan dari ruang redaksi, bukan dikendalikan jurnalis orang per orang.
Mungkin jurnalis media digital tidak segigih jurnalis media cetak dalam mewawancara narasumber sehingga sampai perlu disebut Bre Redana sebagai “konfrontasi kesadaran”, namun jurnalis media digital setidaknya melakukan pekerjaan paling dasar dan terpenting dalam jurnalisme: reportase. Reportase begitu ditekankan karena setiap detail adalah berharga bagi media digital. Setiap detail bisa di-capture oleh mesin pencari sehingga memudahkan orang mencari berita tersebut.
Berita sekecil apapun bisa ditayangkan karena memang tak ada batasan ruang dan waktu bagi media digital. Sehingga tidak mengherankan, jika sebuah peristiwa besar terjadi, jurnalis pertama yang hadir di tempat adalah jurnalis dari media digital, lalu jurnalis foto, lalu televisi.
Media cetak kadang tak ada di lapangan, namun keesokan harinya, berita peristiwa tersebut muncul karena mereka kadang hanya cukup dengan wawancara, tanpa reportase lapangan.
Namun Bre benar, ada sifat “bergegas, serba cepat, tergopoh-gopoh” merajalela, yang kerap berlawanan dengan prinsip jurnalisme yang mengedepankan akurasi. Namun penyakit ini bukan dominasi radio, televisi dan media digital, media cetak juga mengalami. Ini epidemi global. Tidak heran di Amerika Serikat sendiri sekarang muncul gerakan slow journalism yang mencoba menjawab epidemi ini. Mungkin saatnya ada yang perlu menginisiasi gerakan ini di Indonesia. ***
*Arfi Bambani Amri adalah Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dia juga Redaktur Pelaksana di www.viva.co.id dan pernah menjadi reporter di www.detik.com.