RIAU ONLINE, PEKANBARU - Badan Akuntabilitas Publik Dewan Perwakilan Daerah (BAP DPD) mendesak Pemerintah daerah (Pemda) dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V di Kampar untuk menyelesaikan konflik lahan telah berlangsung belasan tahun dengan warga Desa Senema Nenek, Kecamatan Tapung Hulu, Kampar.
Anggota DPD RI asal Riau, Abdul Gaffar Usman menjadi jengah. Ia kemudian mendesak pada tim teknis telah dibentuk mulai dari tim teknis Pemprov Riau, Pemkab Kampar dan PTPN V untuk memberikan hasil secepatnya. (Baca Juga: Invesntasi Sektor Kehutanan dan Sawit tak Sebanding Kerugian Akibat Asap)
"Kita tahu kalau semuanya sudah lelah dan capek. Maka dari itu semuanya, segera lakukan sesuai tugasnya masing-masing. Ini sudah berapa tahun, tapi sama sekali tak membuahkan hasil apapun. Akhirnya kita tak tahu status lahan masyarakat ini bagaimana 2.800 hektare," tegas Gaffar dalam rapat yang ia pimpin, Jumat (29/1/2016).
Lahan seluas itu, kemudian diklaim dan dikelola PTPN V. Padahal, lahan ini merupakan lahan ulayat telah dimiliki masyarakat setempat sejak dulu. PTPN V menggarapnya karena sebelumnya tak adanya kejelasan status hak milik.
Masyarakat Senema Nenek kemudian memprotes dan mendesak pemerintah untuk mengembalikan lahan ulayat mereka. Bulan Januari 2013, akhirnya tercapai kesepakatan bersama mengembalikan lahan tersebut dengan mencari penggantinya. (Klik Juga: Jatuhnya Harga Karet dan Sawit Picu Penduduk Miskin di Pedesaan Riau)
Namun hingga 2016 ini, warga Senema Nenek belum juga mendapat ganti lahan mereka. PTPN V baru bisa mencarikan pengganti lahan seluas 93,5 hektare. Padahal PTPN V harus mencari lahan pengganti 2.800 hektare seperti telah dikelola olehnya.
"Kita sangat kecewa dengan PTPN V, karena sejak 2013 tak ada hasil yang baik bisa dihasilkan. Saya minta kepada seluruh tim teknis untuk mengadakan pertemuan dengan saya sebelum 1 Maret 2015. Kita akan membahas apa harus dilakukan. Kita harus punya hasil konkret supaya masalah ini tak berlarut seperti ini," jelas Gaffar.
Sedangkan 1 Maret 2016, Pemkab Kampar diperintahkan oleh Gaffar untuk melaporkan berapa penduduk berhak menerima 2.800 hektare lahan ulayat tersebut.
Pendataan ini dilakukan supaya tak ada timbul masalah baru usai jelasnya objek lahan yang dimasalahkan. (Lihat Juga: Diwaspadai Kebun Sawit Menjadi Basis Latihan Kelompok Radikal)
"Subjek hukum itu kan orang bukan masyarakat. Kalau pemkab tak tahu jumlah pasti berapa orang yang ada di masyarakat tersebut bagaimana nanti mendistribusikan lahan tersebut pada mereka. Kita tak mau ada masalah baru setelah ini. Kita harus menyelesaikan masalah ini secepatnya," jelas Gaffar.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline