DIREKTUR Eksekutif Scale Up, Harry Oktavian, menunjukkan peta Provinsi Riau di Kantor Scale Up. Harry membagi Riau menjadi dua bagian, Barat dan Timur. Wilayah barat Riau berlahan mineral, sedangkan timur gambut.
(RIAUONLINE.CO.ID/FAKHRURRODZI)
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Sejak Tahun 2013, perusahaan yang bergerak di industri bubur kertas dan kelapa sawit di Riau berlomba-lomba mengumumkan pada publik komitmen mereka terhadap keberlanjutan dan penyelamatan hutan. Keberlanjutan tersebut tidak hanya berkaitan dengan aspek produksi namun juga ramah sosial dan menghormati Hak Asasi Manusia. Tetapi dalam tataran implementasi di lapangan sangat jauh dari harapan. Konflik antara masyarakat di Riau masih tinggi.
Demikian analisis Scale Up, lembaga yang bekerja di isu konflik Sumber Daya Alam di Riau. Menurut Divisi mitigasi konflik dan penguatan jaringan Jois Adisti, tiga perusahaan berbasis lahan terbesar di Riau seperti APP Group, APRIL dan Wilmar masih belum menyelesaikan konflik lahan dengan masyarakat. Padahal mereka sudah menlaunching komitmen keberlanjutan dan penyelamatan hutan.
"APP Group dengan Forest Conservation Policy (FCP), APRIL Group dengan Sustainable Forest Manajement Policy 1 dan 2.0 (SFMP) dan Wilmar Group dengan Kebijakan Nol Deforestasi, Nol Gambut dan Nol Exploitasi," terang Jois.
Dalam Setiap kebijakan yang dikeluarkan masing-masing group, lanjutnya, menyebutkan bahwa dalam operasionalnya perusahaan akan menghormati Hak Asasi Manusia, menghormati hak-hak masyarakat, menyelesaikan konflik dengan bertanggung jawab dan mengedepankan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC).
"Poin-poin dalam kebijakan masing-masing group seharusnya dikomunikasikan secara umum, baik internal maupun eksternal. Ini berarti bahwa masyarakat di sekitar wilayah operasional perusahaan harus mendapatkan informasi tersebut secara utuh dan menyeluruh. Kebijakan itu seharusnya juga tercermin dalam setiap tingkah laku perusahaan dan diintegrasikan ke seluruh organ perusahaan. Informasi ini penting bagi masyarakat, sehingga ketika telah terjadi pelanggaran atau pengabaian hak masyarakat dapat mengetahui mekanisme pengaduan dan mekanisme penyelesaian persoalan tersebut dengan jelas," jelas Jois.
(Baca Juga: Ada 55 Konfik SDA di Riau Selama 2015, Sektor Perkebunan Tertinggi)
Kondisi yang terjadi di lapangan, Scale Up melihat hingga saat ini perusahaan tidak dengan sungguh-sungguh menjalankan komitmen mereka. Masih ditemukan proses penyelesaian konflik yang tidak mengedepankan prinsip-prinsip FPIC dan mengakomodir kepentingan masyarakat. Dalam proses penyelesaian konflik, tim perusahaan selalu mengedepankan kepentingan perusahaan dan memaksakan proses penyelesaian tersebut. Masyarakat sering tidak diberi kesempatan untuk memperoleh haknya. Dengan demikian konflik masih saja terus terjadi.
Berikut sejumlah perusahaan yang dalam tahun 2015 masih berkonflik dengan masyarakat, padahal perusahaan besar sektor kehutanan ini telah berkomitmen untuk zero deforestation dan sustainibility:
- PT. Arara Abadi, berkonflik dengan masyarakat asli Suku Sakai di Kec. Pinggir Kab. Bengkalis
- PT. Arara Abadi, berkonflik dengan warga Dusun Solok Bongkal, Desa Koto Pait Beringin, Kab. Bengkalis
- PT. IKPP, berkonflik dengan warga Desa Pinang Sebatang Barat, Kab. Siak Sri Indrapura
- PT Arara Abadi, berkonflik dengan warga Doral Kampung Dosan, Kab. Siak Sri Indrapura
- PT. Arara Abadi, berkonflik dengan warga Minas Barat, Kab. Siak Sri Indrapura
- PT. Arara Abadi, berkonflik dengan warga Suku Sakai Minas Asal, Kab. Siak Sri Indrapura
- PT. Arara Abadi, berkonflik dengan warga Desa bunut, Kab. Pelalawan
- PT. Arara Abadi, berkonflik dengan warga Pulau Muda Kec. Teluk Meranti, Kab. Pelalawan
- PT. Sumatera Silva Lestari, berkonflik dengan warga desa Sei Kumango, Kec. Tambusai Kab. Rokan Hulu
- PT. Sumatera Riang Lestari, berkonflik dengan warga Bayas Jaya dan desa lainnya, Kec. Tempuling, Kab. Indragiri Hilir
- PT. Nusa Wana Raya, berkonflik dengan masyarakat Desa Segati Dusun Tasik Indah, Kec. Langgam, Kab. Pelalawan
- PT. Sumatera Riang Lestari, berkonflik dengan masyarakat Desa Titi Akar, Kab. Bengkalis
- PT. RAPP, berkonflik dengan warga Desa Anak Kamal, Mekar Sari dan Pelantai Lukit, Kab. Kep. Meranti
- PT. RAPP, berkonflik dengan kelompok Tani Sakato Basamo (SKB), Kab. Kuantan Singingi
Direktur eksekutif Csale Up, Harry Oktavian menilai, konflik berkepanjangan yang terjadi setiap tahun di Riau tak lepas dari peranan pemerintah. Dalam pengelolaan SDA, pemerintah belum mengakomodir hak-hak masyarakat. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah cenderung pro terhadap investasi saja. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi sulit untuk pro aktif dalam pengelolaan SDA bahkan yang telah menjadi haknya secara turun temurun.
"Untuk itu Scale Up memandang adanya lembaga penyelesaian konflik di tingkat daerah (propinsi maupun kabupaten), membangun strategi penyelesaian konflik bersama parapihak, adanya peraturan yang membatasi perizinan skala besar, adanya kebijakan yang memastikan ruang kelola (tata ruang) bagi masyarakat adat/lokal dan mengembangkan program pembangunan yang berorientasi pada ekonomi masyarakat menengah ke bawah, " tandas Harry.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline