Label Halal Indonesia Belum Diterima di Negara Lain

 

RIAU ONLINE, JAKARTA - Label halal Indonesia masih belum bisa diterima di beberapa negara. Padahal potensi Indonesia untuk menjadi produsen makanan halal terbesar sangat tinggi, mengingat Indonesia punya populasi muslim terbesar di dunia.

 

Pakar kuliner Arie Parikesit mengatakan saat ini posisi Indonesia sebagai produsen makanan halal, justru dikalahkan oleh Thailand. Dia mengatakan, Thailand menduduki posisi sebagai produsen makanan halal terbesar di dunia. (BACA JUGA: Tekan Harga Gas, Pemerintah Tertibkan Tata Kelola)

 

"Padahal di Thailand, penduduk muslimnya hanya 10 persen dari sekitar 5 atau 6 juta, tidak banyak dibandingkan dengan Indonesia. Tapi Thailand sudah menjadi pusat makanan halal terbesar di dunia dengan sasaran utama Timur Tengah, Pakistan, dan Inggris," ujar Arie saat ditemui usai acara Dialog Gastronomi Nasional di Hotel Gran Mahakam, Jakarta, Selasa (24/11).

 

Arie menjelaskan, salah satu hal yang menghambat Indonesia merebut posisi tersebut disebabkan standar halal Indonesia tidak sama di beberapa negara. Misalnya saja di negara-negara persemakmuran, mereka akan memilih makanan halal dari negara persemakmuran lainnya dibandingkan dengan negara-negara lain.

 

"Saya tidak tahu pastinya, mungkin ada titik audit yang berbeda tentang makanan halal," ujar Arie. (BACA JUGA: Bank Syariah BUMN Segera Dimerger Tahun 2017)

 


Hal tersebut juga diungkapkan oleh pakar kuliner Tendi Naim. Makanan halal Malaysia pun lebih maju karena memiliki latar belakang sebagai negara persemakmuran.

 

"Ada proses pengecekannya. Enaknya Malaysia negara commonwealth, jadi punya standar yag sama. Kalau kita kan mungkin asa faktor politis lainnya yang mungkin kita tidak tahu," kata Tendi.

 

Sebelum dilabeli halal, Tendi bercerita, ada proses panjang yang harus dilalui. Mulai dari hulu sampai ke hilir. Mulai dari pemilihan bahan sampai makanan itu dikemas.

 

Misalnya saja dari kemasan, apakah kemasannya food grade atau bukan, itu juga menjadi penilaian tersendiri. Cara mendapatkan bahan pun dinilai, apakah dilakukan melalui proses transaksi yang halal atau tidak.

 

"Harusnya kami (pegiat kuliner) ngobrol ke MUI (Majelis Ulama Indonesia) bagaimana menetapkan standar yang bisa diakui di internasional," ujar Tendi.

 

Sebelumnya, Kepala Bidang Sosialisasi dan Promosi Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM) MUI mengatakan, pencantuman label halal merupakan kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Untuk standardisasi, sudah ada badan sertifikasi di dunia yang diakui oleh MUI sehingga seharusnya standarnya sudah sama.

 

Standar yang diterapkan oleh MUI dalam pengecekan kehalalan sebuah produk terbagi menjadi beberapa jenis yang semuanya berasal dari Syariat Islam dan juga Fatwa MUI, dan terkumpul menjadi Standar Sertifikat MUI.

 

Total, ada 42 badan sertifikasi halal yang diakui MUI dari 23 negara dengan penilaian dari beberapa aspek, seperti penjagalan, proses produksi, dan rasa.

 

"Kalau MUI mengakui lembaga tersebut karena standarnya sama, dan bila tidak tercantum atau tidak diakui MUI berarti memiliki standar yang beda," kata Lia.

 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline